Rabu, 26 September 2012
SDN Pangalengan 8
Belajar Mewujudkan Sekolah Aman
Oleh Aang Kusmawan
“Kalau ada Gempa, Lindungi Kepala
Kalau Ada Gempa, Masuk Kolong Meja
Kalau Ada Gempa, Hindari Kaca
Kalau Ada Gempa, Cari Tempat Kerja”
Pangalengan, siang itu terlihat redup. Cahaya matahari tidak terlalu menyengat seperti di tempat lain. Sementara itu, disalah satu ruangan Sekolah Dasar (SD) Pangalengan 8, kurang lebih tiga puluh siswa-siswi berseragam merah putih beberapa kali menyanyikan lirik diawal tulisan dengan begitu riang.
Masuk pada hitungan ketiga lagu tersebut dinyanyikan tiba-tiba terdengan suara peluit cukup melengking. Sejenak kemudian terdengar suara riuh dari anak-anak yang meneriakan kata gempa berkali-kali.
Lalu dengan bimbingan guru, siswa-siswi tersebut keluar dengan teratur. Jejeran siswa-siswi yang posisinya berada dekat pintu segera keluar. Dimulai dari jejeran paling depan lalu kebelakang. Kemudian disusul oleh jejeran kedua. Prosesnya sama, dari jejeran paling depan lalu kebelakang.
Siswa-siswa tersebut keluar dengan rapi. Tidak ada yang saling menyusul. Masing-masing siswa menutup kepalanya dengan tas. Jalur keluar sudah disiapkan, tidak lupa dilengkapi dengan tanda-tanda yang cukup familiar dilihat anak SD.
Pemberhentian terakhir (shelter) siswa-siswi tersebut adalah titik tengah lapangan depan gedung sekolah yang cukup luas. Disana terlihat siswa-siswi berkelompok dengan jumlah tertentu. Sesudah semua berkelompok, guru-guru mengajak siswa-siswi untuk kembali bernyanyi dan meminta siswa-siswi menurunkan tas yang dipakai untuk menutup kepalanya.
Sesudah selesai menyanyi beberapa kali, semua siswa-siswi dibimbing untuk keluar dari area sekolah. Seperti halnya adegan keluar dari kelas, siswa-siswipun keluar dari pihak sekolah dengan tertib, sesuai dengan kelasnya masing-masing.
Setelah diluar, sesuai dengan kelompoknya masing-masing. Satu persatu siswa tersebut didatangi oleh beberapa orang tua, lalu kemudian siswa dan orang tua tersebut pergi meninggalkan sekolah. Tidak beberapa jauh dari sekolah, siswa dan orang tua tersebut kembali ke arah sekolah.
Sementara itu, siswa-siswi yang berada dikelas, dikolong meja tepatnya, dalam beberapa menit tetap berada dibawah meja tersebut. Lalu setelah beberapa waktu, siswa-siswi tersebut dipersilahkan untuk keluar dari ruangan dengan tertib seperti jejeran sebelumnya. Tentu saja dengan kepala ditutupi dengan tas masing-masing.
Sama seprti kelompok lain, siswa-siswi tersebut berjalan menuju titik tengah lapangan sekolah. Lalu disana, mereka didatangi oleh beberapa orang tua, lalu bergerak meninggalkan sekolah dengan didampingi oleh masing-masing orang tua tersebut. Setelah agak jauh meninggalkan sekolah, orang tua dan siswa tersebut kembali menuju lapangan sekolah.
Setelah semua siswa berkumpul, guru-guru memandu setiap siswa untuk kembali bernyanyi beberapa putaran. Setelah itu siswa-siwi tersebut diajak untuk bertepuk tangan, berfoto bersama. Siswa-siswi terlihat begitu riang.Mereka semua tertawa. Lalu mereka semua meninggalkan sekolah dengan didampingi oleh orang tuanya masing-masing.
Ya, serangkaian kegiatan tersebut merupakan bagian penting dari pelaksanaan simulasi bencana gempa bumi yang dilaksakan oleh guru-guru, kepala sekolah, komite serta masyarakat di SD Pangalengan 8. Simulasi kegempaan tersebut merupakan salah satu rangkaian penting dari pelaksanaan konsep sekolah aman yang digagas oleh SD Pangalengan 8 dengan didampingi oleh tim fasilitator sekolah aman kerja sama antara Studio Drya Media Bandung (SDMB) dengan Global Facility For Disaster and Reduction Recovery World Bank (GFDRRWB) kantor Indonesia.
Jauh-jauh hari sebelum pelaksanaan simulasi tersebut, guru-guru, komite dan masyarakat terlebih dahulu melakukan kajian kondisi sekolah, titik rawan serta penilaian kemampuan pengetahuan, sikap dan tindkan komunitas sekolah mengenai kebencanaan.
Setelah pengkajian selesai dilakukan, pekerjaan dilanjutkan dengan menyusun perencanaan sekolah bersama-sama siswa, guru, orang tua siswa, komite. Dalam perencanaan tersebut, disusun perencanaan untuk wilayah fisik, yaitu berupa banguna serta komponen arsitekturalnya. Sedangkan wilayah non fisik, adalah perencanaan penguatan di sisi kemampuan, sikap dan tindakan dalam menyikapi bencana.
Simulasi yang dilakukan tersebut, merupakan salah satu bagian dari upaya untuk meningkatkan kemampuan pengetahuan, sikap dan tindakan dalam menyikapi bencana, khususnya bencana gempa yang rentang terjadi di wilayah Pangalengan.
Riza Irfani, salah satu “gegedug” dari SDMB mengatakan bahwa program ini merupakan salah satu respon atas kondisi beberapa daerah di Indonesia yang rawan bencana. Jawa Barat yang didalamnya terdapat Kabupaten Bandung merupakan salah satu daerah yang mempunyai tingkat kerawanan bencana yang tinggi. Oleh karena itu, aspek fisik dan non fisik harus dipersiapkan dengan matang agar ketika terjadi gempa, seluruh komunita sekolah, terutama siswa-siswi siap menghadapi bencana.
Senada dengan hal tersebut, Arum Sari, kepala sekolah SD Pangalengan 8 mengakui bahwa simulasi yang dilakukan, merupakan salah satu langkah kecil dalam wewujudkan SD Pangalengan 8 sebagai salah satu sekolah yang aman terhadap bencana, terutama bencana gempa bumi. Diluar simulasi tersebut, sebenarnya masih ada program lain yang tak kalah pentingnya, yaitu program pembanguna sisi fisik.
Masih menurut penuturan, Arum Sari, dalam lima tahun kedepan, semua komunitas sekolah akan berusaha sekuat tenaga dalam mewujudkan sekolah aman. Pembangunan dan pengembangan sisi fisik dan non fisik akan dilakukan secara bersamaan. Tidak ada yang dinomorduakan dalam upaya mewujudkan sekolah aman.
Ya, semoga saja apa yang telah diimpikan dan sebagian kecil telah diterapkan oleh SD Pangalengan dapat menjadi kegiatan yang bermanfaat dalam menyelamatka generasi muda penerus peradaban. Dari ujung selatan perbukitan Kabupaten Bandung Selatan, SD Pangalengan 8 telah belajar untuk mewujudkan mimpi sekolah aman. Semoga semuanya diberi kelancaran. Amin.
Selasa, 18 September 2012
SDN Tribakti Pangalengan
Dari Seberang Situ Cileunca, Memimpikan Sekolah Aman
Oleh Aang Kusmawan
Jika anda pernah berkunjung ke Situ Cileunca Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung, anda tentu akan melihat gugusan daratan di seberang situ Cileunca. Dari kejauhan gugusan daratan itu seperti sebuah pulau kecil. Namun sebenarnya itu bukanlah sebuah pulau kecil, itu adalah sebuah desa, Desa Pulosari namanya. Disana terdapat satu SD Negeri, itulah SDN Tribakti.
Sekolah tersebut bisa dibilang sekolah sederhana. Bangunannya tidak terlalu megah seperti sekolah lain. Satu jejer dengan jumlah empat kelas, dan satu jejer lainnya dengan kapasitas tiga kelas sedang dibangun. Dananya pembangunanya dari pemerintah melalui Dana Alokasi Khusus (DAK). Toilet untuk siswa ada dua. Letaknya disamping gedung yang sedang dibangun. Air ditoiletnya kadang mengalir, kadang juga tidak.
Muridnya tidak kurang dari delapan puluh lima orang.
Gurunya tidak lebih dari enam orang. Dari enam orang tersebut, guru yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) berjumlah empat orang. Selebihnya adalah pegawai honorer dengan gaji SATUJUTA, alias sabar jujur dan tawakal. Tidak ada penjaga sekolah khusus. Setelah jam sekolah selesai, sekolah tersebut dititipkan kepada masyarakat yang ada disekitar. Begitulah SDN Tribakti.
Namun, siapa sangka, dibalik kesederhanaan tersebut sebenarnya tersimpan potensi bencana yang belum disadari serius oleh komunitas sekolah. Sebagai SD yang terletak disekitar situ dan berada didataran tinggi Bandung Selatan, kondisi tanahnya labil. Sedikit getaran dari dalam perut bumi sangat mudah terasa.
Selain itu, sebagai daerah yang berada tidak jauh dari pengeboran gas bumi yang dilakukan oleh salah satu perusahaan multinasional, sering kali desa Pulosari mengalami getaran seperti gempa. Walaupun belum ada penelitian yang mengatakan bahwa getaran tersebut berasal dari mana, namun masyarakat sekitar meyakini bahwa getaran tersebut berasal dari aktifitas pengeboran tersebut.
Diluar dua kondisi tersebut, secara umumpun diketahui bahwa Kabupaten Bandung, sebagai salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Barat memang mempunyai potensi bencana yang tinggi. Potensi bencana tersebut yaitu gempa bumi.
Menyadari potensi dan ancaman bencana tersebut, komunitas sekolah yang terdiri dari guru, kepala sekolah, siswa serta masyarakat berembuk, berkumpul untuk menyiapkan sekolah serta komunitas didalamnya agar siap siaga dalam menghadapi bencana.
Dengan dipandu oleh pihak ketiga (baca:fasilitator) dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)Studi Drya Media (SDM) yang memang sengaja diminta Bank Dunia untuk mendampingi sekolah dalam menyusun program sekolah aman, semua komunitas sekolah berembug, merumuskan rancangan program yang dibutuhkan.
Rembugan hari itu nampak semarak. Orang tua siswa nampak banyak yang hadir. Dari yang muda sampai yang tua semuanya hadir diruangan. Jumlah masyarakat yang hadir jauh melebih jumlah guru. Suasan bertambah riuh dengan kehadiran ibu-ibu yang datang dengan membawa anaknya. Antusiasme warga dalam rembugan terlihat begitu besar. Hanya saja, dipertemuan tersebut didominasi oleh ibu-ibu saja. Menurut pengakuan ibu-ibu, bapak-bapaknya tidak bisa hadir karena mereka punya kesibukan di kebun. Jadi untuk permasalahan sekolah diserahkan kepada ibu-ibunya. Adapun bapak-bapak yang hadir dipertemuan itu adalah ketua RW sekaligus ketua komitenya.
Setelah pemaparan kondisi fisik dan non fisik oleh fasilitator, sesi rembug ini dilanjutkan dengan pembahawan visi, misi serta program sekolah yang aman dari bencana. Pak Nana (49) wakil kepala sekolah memberikan pendapat bahwa sebaiknya visi dan misi yang dibuat tidak hanya mewadahi masalah fisik saja, akan tetapi mewadahi juga permasalahan non fisik. Alasannya bahwa gedung yang kuat jika tidak didukung oleh kesiap-siagaan, maka akan terasa kurang ujarnya.
Pendapat ini kemudian diamini oleh Bapak Hardani (52) kepala sekolah, yang memberikan tambahan sekaligus usul konkret bahwa visi yang harus dipakai kuncinya adalah mengembangkan bukan membangun. Alasan logisnya karena sekolah sudah punya modal besar yang masih berpotensi untuk dikembangkan. Semua hadirian menyepakti kerangka visi yang akan dibuat.
Sesi penyusunan visi dan misi ini ditutup oleh pendapat dari hadirin paling tua, sebutlah Mak Inoh namanya, umurnya sekitar 70 tahun. Mak Inoh berpendapat bahwa bangunan yang kuat harus juga didukung oleh orang-orang yang sehat dan kuat didalamnya. Alasanya, jika orang-orang didalamnya tidak sehat dan kuat, tentu saja proses belajar mengajar tidak akan maksimal. Gedung yang bagus tidak akan terpakai dengan maksimal.
Rembug dilanjutkan dengan penyusunan program kerja. Dalam penyusunan program kerja ini, warga tidak terlalu aktif. Dalam sesi ini, guru-guru terlihat lebih aktif. Pak Hendra (35) guru olah raga mengatakan bahwa yang pasti program tersebut harus menyentuh sisi fisik dan non fisik. Program fisik dan non fisik harus berpadu, karena sekolah yang aman bukan hanya aman dari segi fisik saja, akan tetapi juga warga didalamnya harus siaga.
Secara lebih khusus, Pak Hendra mengusulkan bahwa program non fisik, berupa penambahan pengetahuan serta, tindakan-tindakan yang harus dimasukan sebagai salah satu program kerja prioritas. Dengan alasan sebagai guru olahraga, pak Hendra mengusulkan agar dalam program non fisik memasukan program pelatihan kesiapsiagaan komunitas sekolah dalam menghadapi ancaman gempa.
Menambahkan hal tersebut, Bapak Tatang (50) mengusulkan agar pelatihan tersebut tidak hanya melibatkan komunitas sekolah saja, akan tetapi juga melibatkan masyarakat yang ada disekitarnya. Alasanya bahwa warga disekitarpun mempunyai keterbatasan kemampuan dalam menghadapi bencana berupa gempa. Selain itu, wargapun merupakan pihak yang tidak terpisahkan dari sekolah, karena mereka menyekolahkan siswanya di SD Tribakti. Akhirnya forumpun sepakat untuk tidak hanya mewadahi komunitas sekolah saja, akan tetapi juga komunitas warga sekalian.
Setelah pak Hendra, selanjutnya Pak Hardhani yang mengusulkan program kerja. Menurut pak Hardhani bahwa kondisi bangunan SD Tribakti masih mempunyai banyak kekurangan terutama jika dikaitkan dengan potensi gempa. Salah satu hal penting yang menurut Pak Hardhani harus segera direalisasikan adalah perluasan gerbang sekolah.
Dalam amatan pak Hardhani, luas gerbang sekolah tidak memadai jika dibandingkan dengan jumlah siswa, apalagi ketika terjadi gempa yang biasanya diikuti dengan kepanikan. Oleh karena itu, dalam jangka waktu satu tahun renovasi gerbang sekolah harus jadi prioritas.
Selanjutnya Ibu Tijah (49) salah satu guru perempuan menambahkan, bahwa selain kesiagsiagaan komunitas sekolah serta bangunan yang tahan gempa, hal kecil yang harus diperhatikan adalah perlengkapan sekolah sekait bencana. Menurut Ibu Tijah, bencana, salah satunya adalah bencana gempa merupakan hal yang sulit diprediksi, oleh karena itu sekolah harus bersiap dengan berbagai resiko. Salah satunya adalah menyiapkan perlengkapan setelah terjadinya gempa. Ibu Tijah, menyadari bahwa tidak selamanya komunitas sekolah berada dalam kondisi siaga. Oleh karena itu program pengadaan perlengkapan ketika terjadi dan sesudah bencana menjadi hal penting.
Terakhir, dalam rangka mengawal pengimplementasian beberapa program tersebut, semua pihak menyepakati bahwa harus ada kelompok pengawal yang ditugaskan oleh sekolah secara resmi. Tugas penting dari kelompok ini adalah membuat rancangan teknis dan detail pelaksanaan program tersebut. Untuk mengetuai kelompok ini, Bapak Hardhani menugaskan sekaligus mengintruksikan kepada Bapak Nana untuk menjadi ketua tim ini. Pertimbangan pentingnya adalah karena Bapak Nana dianggap cakap dan punya banyak pengalaman.
Tanpa banyak berbicara, Bapak Nana menerima instruksi dan tugas tersebut, namun dengan syarat.Bapak Nana ingin didukung secara penuh oleh semua komunitas sekolah dan masyarakat.
Tidak terasa rembug telah berjalan lebih dari tiga jam. Walau masih terlihat antusias, namun poin-poin penting pertemuan telah didapat. Pertemuan segera diakhiri. Bapak Hardhani menutup sesi ini dengan cepat, lalu langsung meminta semua guru dan fasilitator untuk ke ruang guru dan kepala sekolah.
Ternyata diruang guru, telah tersedia nasi tumpeng lengkap dengan lauk dan kerupuk. Kami segera dipersilahkan untuk menikmati hidangan yang telah disediakan. Selidik demi selidik, ternyata rembug hari ini bertepatan dengan selamatan pembangunan gedung baru yang didanai dari DAK itu. Jadi hari itu, lengkaplah sudah kondisi SD Tribakti, bangunan akan segera beres dan dokumen yang berisi program penyiapan sekolah aman siap dilaksanakan.
Sambil menikmati sajian nasi tumpeng, suasana damai meresap perlahan. Dari seberang Situ Cileunca, masyarakat, guru, kepala sekolah, komite, siswa telah membangun mimpi sekaligus siap membuatnya menjadi kenyataan. Semoga.
Selasa, 04 September 2012
Memimpikan Sekolah Aman
Memimpikan Sekolah yang Aman Dari Bencana
Oleh Aang Kusmawan
Jalan Ancol nomor 14 pagi itu masih lenggang. Studio Drya Media (SDM) tempat ngumpul-ngumpul selama empat bulan kedepan untuk membantu sekolah dalam membuat konsep serta praktek sekolah aman masih terlihat sangat lenggang.
Dapur adalah tempat yang paling menarik pagi itu. Ya, menarik karena pagi-pagi memang waktu yang sangat pas untuk menikmati kopi. Kompor segera dinyalakan, susu kental dari salah satu merek tertentu serta kopi hitam dengan merek salah satu binatang buas segera dimasukan kedalam gelas, disusul kemudian oleh air mendidih. Tegukan pertama kopi susu racikan sendiri terasa lebih nikmat daripada kopi susu yang diracik oleh pabrik. Pagi itu terasa semakin lengkap dengan ditemani berita-berita serta artikel politik dari salah satu analisis politik kondang dari ibu kota.
Belum juga habis segelas, kawan-kawan lain mulai bermunculan. Tantri, atau lebih ingin disebut Nikita Wily muncul dengan kresek dan tas hitam kesukaanya. Lalu tak lama sesudahnya, Abet silet, dengan kaos oblong dan tas ransel hitam datang dengan membawa segelas air putih. Ya, laki-laki ini memang agak bukan penikmat kopi, sekaligus juga bukan perokok. Lalu setelah itu, ada Teh Noi, datang dengan jaket kulit berwarna hitam serta tas ransel warna putih. Terakhir, Apay datang dengan tas zebra bersepatu kasual.
Semua anggota tim telah berkumpul. Perjalanan tampaknya akan segera di jelang. Ya, hari ini kami akan berangkat menuju SD Karya Winaya Kecamatan Cimaung Kabupaten Bandung. Tujuan utama keberangkatan kami hari ini untuk memfasilitasi SD Karya Winaya membuat perencanaan sekolah aman, atau saya lebih senang menyebutnya dengan membangun mimpi sekolah aman. Proses perencanaan sekolah aman ini, sebenarnya merupakan pekerjaan kami tahap kedua. Pekerjaan kami di tahap awal adalah melakukan kajian kebencanaan disetiap sekolah.
Kami berlima bergegas menyiapkan semua perlengkapan. Plano, spidol, lakban kertas, kamera serta perlengkapan lainnya segera diangkut ke mobil. Hari ini yang akan membawa kami menuju SD Karya Winaya adalah Teh Noi. Ya, Teh Noi yang akan nyetir. Perempuan ini memang hebat, hampir semua kendaraan yang lajim dipakai oleh orang-orang semua dapat ia kendarai. Adapun kendaraan umum yang tidak bisa dikendarai mungkin hanyalah satu, yaitu Beca.
Perjalanan menuju Kecamatan Cimaung Kabupaten Bandung, tempat SD Karyawinaya segera di Jelang. Kondisi jalan disepanjang Buah Batu tidak terlalu padat. Mobil bisa berjalan dengan cukup lancar. Selepas Buah Batu, memasuki Bale Endah jalanan lebih lenggang. Sedikit kemacetan baru terjadi di sekitar pasar dan alun-alun Banjaran. Mobil tidak bisa dipacu kencang. Teh Noi dengan cukup sabar dan telaten menjalankan mobil. Saking sabar dan telaten, kawan-kawan yang duduk dibelakang masing-masing telah memejamkan mata mereka. Entah apa yang mereka mimpikan ditidurnya.
Selepas Banjaran memasuki Kecamatan Cimaung jalan sangat lenggang, mobil dipacu lebih cepa. Akhirnya dalam hitungan menit kami telah sampai di SD Karyawinaya. Segera saja keempat kawan dibangunkan. Semua perlengkapan segera diangkut kesekolah.
Tampaknya semua guru sedang sibuk mengajar. Kami segera menuju ruang belakang sekolah, yaitu mushola. Kami memang sering berdiskusi di ruang belakang sekolah tersebut, karena ruang kepala sekolah sedang diperbaiki.
Didalam ruangan ternyata sudah ada ibu kepala sekolah. Ibu Dahlia namanya segera menyambut kami. Selian menyambut dengan senyuman khasnya, Bu Dahlia menyambut kami dengan menyediakan beberapa pengganan yang menurut penulis sangat menarik. Ada tape ketan hitam, sasagon, ubi rebus dan yang paling disukai oleh semua orang, yaitu rujak cuka.
Tanpa basa-basi pengganan tersebut kami santap dengan cukup riang. Sambil bercerita tentang sekelumit perjalanan hidup beberapa guru, beberapa sagon serta sepisin tape ketan sudah kami habiskan. Segera setelah sekelumit cerita hidup selesai diceritakan, salah satu guru mengajak kami untuk segera memasuki ruangan tempat dimana akan dilakukan musyawarah perencanaan sekolah aman.
Kami segera menuju ruangan beramai-ramai. Namun ketika memasuki ruangan ternyata telah tersedia nasi dengan beberapa lauknya yang cukup menggoda. Tanpa terlalu banyak bicara, Bu Dahlia memimpin kami untuk menyelesaiakn ritual penting ini. Ikan pesmol, goreng tahu, oseng jamur, serta asin asem manis segera kami nikmati. Tentu saja kami menikmatinya dengan hati yang riang.
Acara inti segera dimulai. Bu Dahlia mengajak kami untuk merapikan tempat duduk serta memperisilahkan Tantri untuk kedepan. Tanpa berbasa-basi, Bu Dahlia membuka acara sambil mengajak kami membacakan Basmalah bersama-sama, lalu dilanjutka dengan pembacaan maksud dan tujuan musyawarah yang akan dilakukan, lalu dilanjutkan dengan memaparkan proses yang akan dilalui bersama-sama selama kurang lebih tiga jam.
Sesi inti pertama adalah pemaparan hasil kajian yang telah kami lakukan terlebih dahulu. Dengan cukup cekatan dan jelas, Tantri mulai memaparka temuan. Pertama kali, Tantri memaparkan kondisi umum Karya Winaya, lalu dilanjutkan dengan paparan kajian Struktural, dilanjutkan dengan pemaparan hasil kajian non struktural.
Inti paparan Tantri mengatakan bahwa secara struktural, bangunan di SD Karyawinaya sebagian besar belum memenuhi prasyarat struktur bangunan sekolah aman. Namun beberapa bagian penting struktur sekolah aman telah terpenuhi. Contohnya adalah dalam masalah pembesian. Namun dalam beberapa bagian besar komponen arsitektural belum terpenuhi.
Semntara itu, pada komponen non struktural yang dilihat dari sejauh mana pengetahuan, sikap dan tindakan dalam kebencanaan, diketahui bahwa pengetahuan tentang kebencanaan di SD Karyawinaya masih minim. Hal ini seiring dengan wilayah sikap dan tindakan dalam kebencanaan. Hal lainnya dalam wilayah non struktural adalah dokumen kebijakan sekolah serta perencanaan sekolah. Hasil kajian mengatakan bahwa sekolah belum memiliki dokumen kebijakan tentang sekolah aman.
Setelah Tantri memaparkan hasil temuan tersebut, sesi tanya jawab di mulai. Secara umum tidak ada sanggahan atas temuan Tantri tersebut. Semuanya sepakat dengan hasil temuan. Adapun yang ikut unjuk bicara hanya memberikan tambahan data.
Sesi berikutnya adalah membuat peta evakuasi bencana. Hal ini didahului dengan proses pembiatan sketsa sekolah secara dasar. Dalam proses ini semua komunitas sekolah dilibatkan, mulai dari siswa-siswi, guru-guru, kepala dan komite sekolah semua terlibat. Proses pembuatan peta evakuasi bencana ini menjadi cukup riuh, karena semua terlibat dengan aktif.
Pemaparan hasil kajian sekolah sudah selesai. Proses selanjutnya segera dijelang. Pak Agus segera didaulat oleh forum untuk memandu proses pembuatan visi dan misi tersebut. Pak Agus tampaknya telah cukup berpengalaman dalam membuat visi dan misi. Segera saja perdebatan diarahkan dalam pemilihan kata kunci di Visi.
Ada tiga kata kunci yang diberkembang di forum. Pertama, adalah membangun. Kedua, menciptakan. Ketiga, adalah mengembangkan. Setelah berdebat cukup sengit, akhirnya forum memilih kata kunci mengembangakn. Setelah itu lalu kemudian disepakati tentang redaksional dari visi itu sendiri. Rupa-rupanya, kata visi tersebut menjadi kunci pembuka cukup penting bagi proses berikutnya.
Hal itu terbukti dari proses perumusan misi yang relatif cepat. Tiga misi sekolah aman dirumuskan dengan cepat. Misi yang dibuat mencakup wilayah fisik dan non fisik. Visi dan misi telah dibuat, Pak Agus telah berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik. Semua bertepuk tangan. Keriangan masih saja terlihat di wajah guru-guru siang itu.
Tantri kembali mengambil alih forum. Agenda berikutnya adalah merumuskan program kerja awal. Karena pada tahapan sebelumya telah terjadi disikusi yang dinamis, maka proses perumusa program kerja dapat diselesaika denga cepat.
Secara umum program kerja di bagi kedalam dua bagian. Bagian pertama, mengenai program kerja yang terkait dengan pembanguna fisik. Sementara bagian kedua adala yang berkaitan dengan sumber daya manusia. Secara umum, program sumber daya manusia dikaitkan dengan tujuan belajar disekolah yang dibagi kedalam tiga bagian, yaitu wilayah kognitif, apektif dan psikomotor. Untuk diwilayah kognitif disepakati untuk membuat program kerja peningkatan pengetahuan tentang kebencanaan. Sementara itu untuk wilayah afektifnya adalah menyiapkan mental guru dan peserta didik dalam hal kebencanaan. Untuk wilayah psikomotrnya adalah meningkatan kemampuan teknis guru dan peserta didik dalam menghadapi bencana, baik sebelum bencana terjadi atau sesudah bencana terjadi. Tanpa menyisakan perdebatan yang alot, proses perumusan program kerja berhasil diselesaiakn dalam waktu yang tidak terlalu panjang.
Salah satu faktor penting cepatnya proses pendiskusian adalah kekompakan dari guru-guru dalam menyatukan pendapat. Selain itu, tidak adanya debat kusir dalam proses perumusan program kerja merupakan faktor penyebab sesi ini menjadi cepat berlalu. Faktor selanjutnya adalah karena proses perumusana visi dan misinya disusun dengan cukup interaktif antar semua peserta.
Proses terakhir dari musyawarah hari hari itu adalah pendiskusian mengenai gagasan awal dalam pembuatan prosedur tetap pemeliharaan bangunan dan evakuasi bencana serta peringatan dini. Tantri menjelaskan secara singkat mengenai tujuan, langkah serta beberapa contoh kecil prosedur tetap tersebut. Lagi-lagi tanpa proses yang alot, panitia penyusunan prosedur tetapt segera terbentuk. Pak Anang, ketua proyek rehab sekolah didaulat untuk menjadi ketua pelaksananya.
Dengan terbentuknya panitia penyusunan prosedur tetap, tahap akhir penyusunan perencanaan sekolah aman telah selesai dilalui. Acara menginjak pada proses selanjutnya, yaitu proses penutupan yang akan dilakukan oleh Bu Dahlia selaku kepala sekolah.
Namun sebelum penutupan dimulai, Tantri, mewakili kami berlima memberikan kejutan kecil untuk Bu Dahlia. Ya, kejutan kecil tersebut berupa ucapan selamat ulang tahun kepada Bu Dahlia yang kebetulan pada hari tersebut sedang berulang tahun. Selain mengucapkan selamat ulang tahun, kami juga memberikan hadiah kecil yang sudah disiapkan oleh Tantri dan lainnya dikantor.
Menerima kejutan kecil tersebut, Bu Dahlia nampak berseri. Mimik wajahnya memperlihatkan rasa senang karena kejutan dan hadiah kecil dari kami. Tanpa banyak berbasa-basi, Bu Dahlia mengucapkan terimakasih kepada kami serta langsung menutup acara musyawarah perencaaan sekolah tersebut. Segera setalah penutupan oleh Bu Dahlia, acara dilanjutkan dengan sesi foto bareng. Kami semua bergegas pergi kedepan kelas, berbaris dengan manis untuk foto bersama. Segera setelah sesi foto bareng kami semua bersalama dan saling mengucapkan terimakasih atas hari yang luar biasa tersebut.
Proses perencanaan sekolah aman di SD Karyawinaya telah selesai dilaksanakan. Semoha saja, perencanaan (baca :mimpi) yang dibangun di siang bolong tersebut, tidak lantas kemudian menjadi betul-betul mimpi disiang bolong. Kami semua anggota tim bersepakat untuk bersama-sama dengan guru-guru di SD Karyawinaya mengembangakn sekolah yang aman.
Tidak terasa, sore telah menjelang. Cuaca panas perlahan telah berganti dengan cuasa yang cukup sejuk. Segera saja kami bergeas mengangkut semua perlengkapan kedalam mobil. Perjalan menyusuri jalanjalan Kabupaten Bandung yang sunyi sekaligus riuh akan akan segera kami jelang. Ah, semoga saja proses disekolah lain tidak jauh beda dengan di SD Karyawinaya. Semoga tuhan selalu memberikan kemudahan kepada kami.
Studi Drya Media, 4 Agustus 2012..
Selasa, 07 Agustus 2012
Kamis, 02 Agustus 2012
Sekolah Di Kertasari Masih Jauh Dari Aman
Suasana pagi di pertigaan by pas Buah Batu di Soekarno Hatta waktu itu sudah terasa begitu ramai. Mobil dan motor hilir mudik, datang dari berbagai arah. Entah mau pada kemana. Saya tidak terlalu mempedulikannya. Saya hanya bergegas menyebrangi ruas jalan Soekarno Hatta, hendak ketemu dengan salah satu kawan seperjuangan untuk lima bulan ini dalam program advokasi sekolah aman di Kabupaten Bandung.
Ya, kawanku, dia bernama Asep Saepudin, atau dia lebih senang disebut Abet Silet. Entah kenapa dia senang dipanggil seperti itu, penjelasan yang dia berikan tempo hari tidak terlalu jelas. Dan akupun tidak terlalu ingin tahu kenapa nama itu melekat, yang penting aku cukup nyaman memanggil dia demikian, dibandingkan harus memangginya dengan nama asli. Aku merasa terlalu formal jika harus memanggilnya dengan nama asli. hehehe.
Tanpa banyak bicara, juga tanpa helm yang lupa di bawa Abet, perjalanan menuju Kertasari segera di jelang. Walau agak khawatir karena tidak memakai helm, perjalanan terus dijelang sambil berdoa tidak ada polisi yang tiba-tiba iseng menilang kami.
Bagiku, Kertasari sudah sangat begitu akrab. Dalam tiga tahun mencoba menjajal keikhlasan dengan menjadi pengajar disana telah memberikan banyak pengalaman dan menjadikan Kertasari begitu akrab. Suasananya yang sunyi, mentari paginya yang menyegarkan serta Gunung Wayang yang menjadi identitas Kertasari adalah hal yang membuatku cukup betah tinggal disana. bagiku, hanya satu hal saja yang agak menggangu tentang Kertasari, yaitu kondisi jalannya yang cukup buruk di beberapa titik. Bagi orang yang belum terbiasa, atau bahkan baru pertama kali mengunjungi Kertasari, hal tersebut tentu saja akan menjadi mimpi buruk.
Dan celakanya, Abet ternyata belum pernah ke Kertasari sekalipun. Dia lebih sering dan lebih akrab dengan Sumedang, karena memang sebelumnya dia bekerja sebagai konsultan PNPM di Sumedang. Sudah bisa dipastikan bahwa perjalanan menuju Kertasari, akan menjadi mimpi buruknya di bulan ramadhan ini. Saya tidak bisa berbuat apa-apa selain sedikit menghibur Abet bahwa perjalanan menuju Kertasari akan disuguhi oleh bentang alam nan cantik. Saya menyarankan agar Abet jangan terlalu banyak lihat ke bawah, lebih baik lihat kedepan agak jauh atau kesamping saja, karena jauh didepan atau disamping ada pengalaman yang begitu indah.
Saranku cukup ampuh. Abet, ikut saranku, namun tetap saja tak merubah keadaan. Perjalanan dirasa cukup berat setelah melewati Ciparay dan memasuki Kecamatan Pacet. Jalan mulai nanjak, jalan yang bolong mulai didapati dimana-mana. Memasuki Kertasari, jalan terasa lebih terjal dan lebih jelek. Badan terasa agak "cangkeul", namun apa boleh buat waktu terus berjalan, tidak ada untuk berhenti sebentar untuk sekedar meluruskan kaki. Perjalan terus di jelang.
Perjalanan terasa semakin berat tatkala memasuki perkebunan teh Kertasari. Jalan yang dilalui tidak bisa lagi dikatakan dalam kategori jelek, namun lebih jalan tersebut, meminjam istilah Abet, lebih pas kalau disebut "walungan saat". Tidak ada bekas aspla sedikitpun yang menempel. Ruas jalan hanya diiisi oleh batu yang lumayan besar serta debu-debu yang membuat wajah tidak karuan. Perjalanan semakin menyiksa karena jarak menuju sekolah cukup jauh. Bagi aku yang terbiasa, kondisi sepetrti ini dinikmati saja, tapi bagi Abet, ah terasa sangat menyiksa katanya.
Namun demikian, akhirnya derita perjalanan tampaknya sedikit akan sedikit berakhir. Dari agak kejauhan atap sekolah yang masih ada genteng dan tidak gentengnya mulai terlihat. Rupanya sekolah yang dituju sudah mulai pada tahapan merehab.
Begitu memasuki halaman sekolah, Bu Betti terlihat di depan sekolah, kayaknya akan menyambut kami, karena memang sebelumnya sudah kontak-kontakan. Memasuki SD Kertasari 1, hawa dingin pertama kali menyergap, lalu setelahnya keabraban mulai begitu terasa. Bu Bety, dan beberapa guru yang usianya lebih muda membawa kami pada suasana keakraban yang menarik.
Segera saja abet mulai berbicara mengenai maksud kedatangan kami. Selanjutnya Abet, mulai mengeluarkan beberapa peralatan perang. Jangka sorong, meteran serta beberapa poster mulai dikeluarkan. Mulailah, kepsek dan guru-guru serta kepala tukang menyimak "ceramah" Abet dengan serius. Tampaknya kondisi ramadhan tidak mempengaruhi konsentrasi mereka untuk menyimak. Setelah ceramahnya selesai, Abet segera mengajak kepala tukang ke lapangan melihat bangunan yang akan direhab yang terlihat sudah mulai di bongkar.
Setelah Abet berlalum, tugasku fungsionalku sebagai fasilitator sosial mulai dijalankan, pertanyaan ini, itu mulai dilontarkan. Dengan diselingi oleh beberapa humor ala orang sunda, proses wawancara terjadi dengan begitu akrab dan beberapa canda tawa. Kurang dari sejam, proses wawancara selesai.
Beberapa kesimpulan mendasar dapat diambil. Pada dasarnya, sekolah cukup akrab dengan bencana, namun pengetahuan dan kemampuan mereka dalam bencana, termasuk didalamnya cara membaca kerentanan, apa yang haris dilakukan ketika terjadi bencana ternyata belum terlalu banyak dan mendalam. Mereka hanya paham jika terjadi bencana harus segera keluar dari ruangan. Sungguh sangat sederhana.
selain itu, pada tataran normatif, kebencanaan belum menjadi input penting dalam menyusun dokumen normatif berupa perencanaan jangka menengah dan panjang. Namun, ketika ditanya apakah perihal kebencanan penting untuk dimasukan dalam penyusunan perencanaan jangka menengah dan panjang sekolah.
Seuasai wawancara, aku penasaran ingin melihat juga apakah bangunan yang ada telah sesuai dengan konseo sekolah aman. Tentu saja yang aku lihat hanya hal yang dasar-dasar saja, semisal bukaan pintu, serta penyusunan genteng. Setelah sedikit berkeliling, ternyata keduanya masih belum masuk dalam kriteria konsep bangunan dengan sekolah aman.
Pada pintu, ternyata bukaan pintu masih kedalam dan daun pintunya hanya satu, hal ini menjadi semakin menghawatirkan ternyata semua pintu disekolah mempunyai bukaan kedalam dan semuanya satu pintu. Sementara itu pada penyusunan genteng, terlihat bahwa susunan ujung genteng tidak mempunyai penahan di ujung. Hal ini cukup bahaya, karena ketika terjadi gempa akan mengakibatkan gentengnya jatuh langsung ke bawah tanpa ada penahan.
Jelas ini akan sangat berbahaya karena akan langsung menimpa kepala siswa. Sambil melakukan observasi dan menerangkan sedikit hal tersebut kepada kepala sekolah, secara perlahan pengalaman mereka menjadi sedikit bertambah mengenai struktur bangunan yang tahan gempa. Walaupun pemahaman mereka belum tentu diikuti oleh tindakan dalam memperbaiki, setidaknya mereka sudah mendapatkan gambaran penting. Kalaupun mereka tidak merubah disekolah, besar harapanku dirumah-rumah mereka akan melakukan sedikit perubahan.Cerita di SD Kertasari, nun juah di ujung mata segera berakhir. Kami bergegas menuju sekolah lain. SD Kertasari II, SD Tarumajaya 2, SD Sukamaju. Perjalanan hari ini ternyata masih sangat panjang!
Suasana pagi di pertigaan by pas Buah Batu di Soekarno Hatta waktu itu sudah terasa begitu ramai. Mobil dan motor hilir mudik, datang dari berbagai arah. Entah mau pada kemana. Saya tidak terlalu mempedulikannya. Saya hanya bergegas menyebrangi ruas jalan Soekarno Hatta, hendak ketemu dengan salah satu kawan seperjuangan untuk lima bulan ini dalam program advokasi sekolah aman di Kabupaten Bandung.
Ya, kawanku, dia bernama Asep Saepudin, atau dia lebih senang disebut Abet Silet. Entah kenapa dia senang dipanggil seperti itu, penjelasan yang dia berikan tempo hari tidak terlalu jelas. Dan akupun tidak terlalu ingin tahu kenapa nama itu melekat, yang penting aku cukup nyaman memanggil dia demikian, dibandingkan harus memangginya dengan nama asli. Aku merasa terlalu formal jika harus memanggilnya dengan nama asli. hehehe.
Tanpa banyak bicara, juga tanpa helm yang lupa di bawa Abet, perjalanan menuju Kertasari segera di jelang. Walau agak khawatir karena tidak memakai helm, perjalanan terus dijelang sambil berdoa tidak ada polisi yang tiba-tiba iseng menilang kami.
Bagiku, Kertasari sudah sangat begitu akrab. Dalam tiga tahun mencoba menjajal keikhlasan dengan menjadi pengajar disana telah memberikan banyak pengalaman dan menjadikan Kertasari begitu akrab. Suasananya yang sunyi, mentari paginya yang menyegarkan serta Gunung Wayang yang menjadi identitas Kertasari adalah hal yang membuatku cukup betah tinggal disana. bagiku, hanya satu hal saja yang agak menggangu tentang Kertasari, yaitu kondisi jalannya yang cukup buruk di beberapa titik. Bagi orang yang belum terbiasa, atau bahkan baru pertama kali mengunjungi Kertasari, hal tersebut tentu saja akan menjadi mimpi buruk.
Dan celakanya, Abet ternyata belum pernah ke Kertasari sekalipun. Dia lebih sering dan lebih akrab dengan Sumedang, karena memang sebelumnya dia bekerja sebagai konsultan PNPM di Sumedang. Sudah bisa dipastikan bahwa perjalanan menuju Kertasari, akan menjadi mimpi buruknya di bulan ramadhan ini. Saya tidak bisa berbuat apa-apa selain sedikit menghibur Abet bahwa perjalanan menuju Kertasari akan disuguhi oleh bentang alam nan cantik. Saya menyarankan agar Abet jangan terlalu banyak lihat ke bawah, lebih baik lihat kedepan agak jauh atau kesamping saja, karena jauh didepan atau disamping ada pengalaman yang begitu indah.
Saranku cukup ampuh. Abet, ikut saranku, namun tetap saja tak merubah keadaan. Perjalanan dirasa cukup berat setelah melewati Ciparay dan memasuki Kecamatan Pacet. Jalan mulai nanjak, jalan yang bolong mulai didapati dimana-mana. Memasuki Kertasari, jalan terasa lebih terjal dan lebih jelek. Badan terasa agak "cangkeul", namun apa boleh buat waktu terus berjalan, tidak ada untuk berhenti sebentar untuk sekedar meluruskan kaki. Perjalan terus di jelang.
Perjalanan terasa semakin berat tatkala memasuki perkebunan teh Kertasari. Jalan yang dilalui tidak bisa lagi dikatakan dalam kategori jelek, namun lebih jalan tersebut, meminjam istilah Abet, lebih pas kalau disebut "walungan saat". Tidak ada bekas aspla sedikitpun yang menempel. Ruas jalan hanya diiisi oleh batu yang lumayan besar serta debu-debu yang membuat wajah tidak karuan. Perjalanan semakin menyiksa karena jarak menuju sekolah cukup jauh. Bagi aku yang terbiasa, kondisi sepetrti ini dinikmati saja, tapi bagi Abet, ah terasa sangat menyiksa katanya.
Namun demikian, akhirnya derita perjalanan tampaknya sedikit akan sedikit berakhir. Dari agak kejauhan atap sekolah yang masih ada genteng dan tidak gentengnya mulai terlihat. Rupanya sekolah yang dituju sudah mulai pada tahapan merehab.
Begitu memasuki halaman sekolah, Bu Betti terlihat di depan sekolah, kayaknya akan menyambut kami, karena memang sebelumnya sudah kontak-kontakan. Memasuki SD Kertasari 1, hawa dingin pertama kali menyergap, lalu setelahnya keabraban mulai begitu terasa. Bu Bety, dan beberapa guru yang usianya lebih muda membawa kami pada suasana keakraban yang menarik.
Segera saja abet mulai berbicara mengenai maksud kedatangan kami. Selanjutnya Abet, mulai mengeluarkan beberapa peralatan perang. Jangka sorong, meteran serta beberapa poster mulai dikeluarkan. Mulailah, kepsek dan guru-guru serta kepala tukang menyimak "ceramah" Abet dengan serius. Tampaknya kondisi ramadhan tidak mempengaruhi konsentrasi mereka untuk menyimak. Setelah ceramahnya selesai, Abet segera mengajak kepala tukang ke lapangan melihat bangunan yang akan direhab yang terlihat sudah mulai di bongkar.
Setelah Abet berlalum, tugasku fungsionalku sebagai fasilitator sosial mulai dijalankan, pertanyaan ini, itu mulai dilontarkan. Dengan diselingi oleh beberapa humor ala orang sunda, proses wawancara terjadi dengan begitu akrab dan beberapa canda tawa. Kurang dari sejam, proses wawancara selesai.
Beberapa kesimpulan mendasar dapat diambil. Pada dasarnya, sekolah cukup akrab dengan bencana, namun pengetahuan dan kemampuan mereka dalam bencana, termasuk didalamnya cara membaca kerentanan, apa yang haris dilakukan ketika terjadi bencana ternyata belum terlalu banyak dan mendalam. Mereka hanya paham jika terjadi bencana harus segera keluar dari ruangan. Sungguh sangat sederhana.
selain itu, pada tataran normatif, kebencanaan belum menjadi input penting dalam menyusun dokumen normatif berupa perencanaan jangka menengah dan panjang. Namun, ketika ditanya apakah perihal kebencanan penting untuk dimasukan dalam penyusunan perencanaan jangka menengah dan panjang sekolah.
Seuasai wawancara, aku penasaran ingin melihat juga apakah bangunan yang ada telah sesuai dengan konseo sekolah aman. Tentu saja yang aku lihat hanya hal yang dasar-dasar saja, semisal bukaan pintu, serta penyusunan genteng. Setelah sedikit berkeliling, ternyata keduanya masih belum masuk dalam kriteria konsep bangunan dengan sekolah aman.
Pada pintu, ternyata bukaan pintu masih kedalam dan daun pintunya hanya satu, hal ini menjadi semakin menghawatirkan ternyata semua pintu disekolah mempunyai bukaan kedalam dan semuanya satu pintu. Sementara itu pada penyusunan genteng, terlihat bahwa susunan ujung genteng tidak mempunyai penahan di ujung. Hal ini cukup bahaya, karena ketika terjadi gempa akan mengakibatkan gentengnya jatuh langsung ke bawah tanpa ada penahan.
Jelas ini akan sangat berbahaya karena akan langsung menimpa kepala siswa. Sambil melakukan observasi dan menerangkan sedikit hal tersebut kepada kepala sekolah, secara perlahan pengalaman mereka menjadi sedikit bertambah mengenai struktur bangunan yang tahan gempa. Walaupun pemahaman mereka belum tentu diikuti oleh tindakan dalam memperbaiki, setidaknya mereka sudah mendapatkan gambaran penting. Kalaupun mereka tidak merubah disekolah, besar harapanku dirumah-rumah mereka akan melakukan sedikit perubahan.Cerita di SD Kertasari, nun juah di ujung mata segera berakhir. Kami bergegas menuju sekolah lain. SD Kertasari II, SD Tarumajaya 2, SD Sukamaju. Perjalanan hari ini ternyata masih sangat panjang!
Selasa, 31 Juli 2012
Langganan:
Postingan (Atom)