Kamis, 02 Agustus 2012

Sekolah Di Kertasari Masih Jauh Dari Aman

Suasana pagi di pertigaan by pas Buah Batu di Soekarno Hatta waktu itu sudah terasa begitu ramai. Mobil dan motor hilir mudik, datang dari berbagai arah. Entah mau pada kemana. Saya tidak terlalu mempedulikannya. Saya hanya bergegas menyebrangi ruas jalan Soekarno Hatta, hendak ketemu dengan salah satu kawan seperjuangan untuk lima bulan ini dalam program advokasi sekolah aman di Kabupaten Bandung.

Ya, kawanku, dia bernama Asep Saepudin, atau dia lebih senang disebut Abet Silet. Entah kenapa dia senang dipanggil seperti itu, penjelasan yang dia berikan tempo hari tidak terlalu jelas. Dan akupun tidak terlalu ingin tahu kenapa nama itu melekat, yang penting aku cukup nyaman memanggil dia demikian, dibandingkan harus memangginya dengan nama asli. Aku merasa terlalu formal jika harus memanggilnya dengan nama asli. hehehe.

Tanpa banyak bicara, juga tanpa helm yang lupa di bawa Abet, perjalanan menuju Kertasari segera di jelang. Walau agak khawatir karena tidak memakai helm, perjalanan terus dijelang sambil berdoa tidak ada polisi yang tiba-tiba iseng menilang kami.

Bagiku, Kertasari sudah sangat begitu akrab. Dalam tiga tahun mencoba menjajal keikhlasan dengan menjadi pengajar disana telah memberikan banyak pengalaman dan menjadikan Kertasari begitu akrab. Suasananya yang sunyi, mentari paginya yang menyegarkan serta Gunung Wayang yang menjadi identitas Kertasari adalah hal yang membuatku cukup betah tinggal disana. bagiku, hanya satu hal saja yang agak menggangu tentang Kertasari, yaitu kondisi jalannya yang cukup buruk di beberapa titik. Bagi orang yang belum terbiasa, atau bahkan baru pertama kali mengunjungi Kertasari, hal tersebut tentu saja akan menjadi mimpi buruk.

Dan celakanya, Abet ternyata belum pernah ke Kertasari sekalipun. Dia lebih sering dan lebih akrab dengan Sumedang, karena memang sebelumnya dia bekerja sebagai konsultan PNPM di Sumedang. Sudah bisa dipastikan bahwa perjalanan menuju Kertasari, akan menjadi mimpi buruknya di bulan ramadhan ini. Saya tidak bisa berbuat apa-apa selain sedikit menghibur Abet bahwa perjalanan menuju Kertasari akan disuguhi oleh bentang alam nan cantik. Saya menyarankan agar Abet jangan terlalu banyak lihat ke bawah, lebih baik lihat kedepan agak jauh atau kesamping saja, karena jauh didepan atau disamping ada pengalaman yang begitu indah.

Saranku cukup ampuh. Abet, ikut saranku, namun tetap saja tak merubah keadaan. Perjalanan dirasa cukup berat setelah melewati Ciparay dan memasuki Kecamatan Pacet. Jalan mulai nanjak, jalan yang bolong mulai didapati dimana-mana. Memasuki Kertasari, jalan terasa lebih terjal dan lebih jelek. Badan terasa agak "cangkeul", namun apa boleh buat waktu terus berjalan, tidak ada untuk berhenti sebentar untuk sekedar meluruskan kaki. Perjalan terus di jelang.

Perjalanan terasa semakin berat tatkala memasuki perkebunan teh Kertasari. Jalan yang dilalui tidak bisa lagi dikatakan dalam kategori jelek, namun lebih jalan tersebut, meminjam istilah Abet, lebih pas kalau disebut "walungan saat". Tidak ada bekas aspla sedikitpun yang menempel. Ruas jalan hanya diiisi oleh batu yang lumayan besar serta debu-debu yang membuat wajah tidak karuan. Perjalanan semakin menyiksa karena jarak menuju sekolah cukup jauh. Bagi aku yang terbiasa, kondisi sepetrti ini dinikmati saja, tapi bagi Abet, ah terasa sangat menyiksa katanya.

Namun demikian, akhirnya derita perjalanan tampaknya sedikit akan sedikit berakhir. Dari agak kejauhan atap sekolah yang masih ada genteng dan tidak gentengnya mulai terlihat. Rupanya sekolah yang dituju sudah mulai pada tahapan merehab.

Begitu memasuki halaman sekolah, Bu Betti terlihat di depan sekolah, kayaknya akan menyambut kami, karena memang sebelumnya sudah kontak-kontakan. Memasuki SD Kertasari 1, hawa dingin pertama kali menyergap, lalu setelahnya keabraban mulai begitu terasa. Bu Bety, dan beberapa guru yang usianya lebih muda membawa kami pada suasana keakraban yang menarik.

Segera saja abet mulai berbicara mengenai maksud kedatangan kami. Selanjutnya Abet, mulai mengeluarkan beberapa peralatan perang. Jangka sorong, meteran serta beberapa poster mulai dikeluarkan. Mulailah, kepsek dan guru-guru serta kepala tukang menyimak "ceramah" Abet dengan serius. Tampaknya kondisi ramadhan tidak mempengaruhi konsentrasi mereka untuk menyimak. Setelah ceramahnya selesai, Abet segera mengajak kepala tukang ke lapangan melihat bangunan yang akan direhab yang terlihat sudah mulai di bongkar.

Setelah Abet berlalum, tugasku fungsionalku sebagai fasilitator sosial mulai dijalankan, pertanyaan ini, itu mulai dilontarkan. Dengan diselingi oleh beberapa humor ala orang sunda, proses wawancara terjadi dengan begitu akrab dan beberapa canda tawa. Kurang dari sejam, proses wawancara selesai.

Beberapa kesimpulan mendasar dapat diambil. Pada dasarnya, sekolah cukup akrab dengan bencana, namun pengetahuan dan kemampuan mereka dalam bencana, termasuk didalamnya cara membaca kerentanan, apa yang haris dilakukan ketika terjadi bencana ternyata belum terlalu banyak dan mendalam. Mereka hanya paham jika terjadi bencana harus segera keluar dari ruangan. Sungguh sangat sederhana.

selain itu, pada tataran normatif, kebencanaan belum menjadi input penting dalam menyusun dokumen normatif berupa perencanaan jangka menengah dan panjang. Namun, ketika ditanya apakah perihal kebencanan penting untuk dimasukan dalam penyusunan perencanaan jangka menengah dan panjang sekolah.

Seuasai wawancara, aku penasaran ingin melihat juga apakah bangunan yang ada telah sesuai dengan konseo sekolah aman. Tentu saja yang aku lihat hanya hal yang dasar-dasar saja, semisal bukaan pintu, serta penyusunan genteng. Setelah sedikit berkeliling, ternyata keduanya masih belum masuk dalam kriteria konsep bangunan dengan sekolah aman.

Pada pintu, ternyata bukaan pintu masih kedalam dan daun pintunya hanya satu, hal ini menjadi semakin menghawatirkan ternyata semua pintu disekolah mempunyai bukaan kedalam dan semuanya satu pintu. Sementara itu pada penyusunan genteng, terlihat bahwa susunan ujung genteng tidak mempunyai penahan di ujung. Hal ini cukup bahaya, karena ketika terjadi gempa akan mengakibatkan gentengnya jatuh langsung ke bawah tanpa ada penahan.

Jelas ini akan sangat berbahaya karena akan langsung menimpa kepala siswa. Sambil melakukan observasi dan menerangkan sedikit hal tersebut kepada kepala sekolah, secara perlahan pengalaman mereka menjadi sedikit bertambah mengenai struktur bangunan yang tahan gempa. Walaupun pemahaman mereka belum tentu diikuti oleh tindakan dalam memperbaiki, setidaknya mereka sudah mendapatkan gambaran penting. Kalaupun mereka tidak merubah disekolah, besar harapanku dirumah-rumah mereka akan melakukan sedikit perubahan.Cerita di SD Kertasari, nun juah di ujung mata segera berakhir. Kami bergegas menuju sekolah lain. SD Kertasari II, SD Tarumajaya 2, SD Sukamaju. Perjalanan hari ini ternyata masih sangat panjang!



Tidak ada komentar:

Posting Komentar